ENSIPEDIA GAMES, Salatiga – Penyebaran informasi lewat internet khususnya media sosial seperti Facebook, Twitter, Tiktok, dan lain sebagainya memang sangat cepat dan masif. Namun perlu diketahui banyak juga informasi di media sosial yang palsu atau hoax.
Salah satu psikiater asal Kanada, Dr. Jonathan N. Stea mengungkapkan bahwa lebih dari 50 persen konten perihal kondisi Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau ADHD di TikTok ternyata terbukti menyesatkan.
Lewat cuitannya di Twitter ia menjelaskan bahwa video menyesatkan tersebut telah ditonton sebanyak 2.8 juta penayangan dan dibagikan kurang lebih 31 ribu kali. Dr. Jonathan juga menyertakan penelitian Anthony Yeung, MD sebagai buktinya.
“Informasi kesehatan mental yang menyesatkan tengah merajalela di media sosial,”
“Dalam penelitian, lebih dari setengah video perihal ADHD populer di TikTok terbukti menyesatkan. Dan yang lebih mengejutkan lagi, terdapat lebih dari 2,8 juta penayangan per video dan setiap video dibagikan rata-rata 31.000 kali,” cuit Dr. Jonathan.
Mental health misinformation is rampant on social media.
In this study, over half of popular ADHD videos on TikTok were misleading—and staggeringly, there were over 2.8 million views per video and each video was shared on average 31,000 times.
By @AnthonyYeungMD et al. pic.twitter.com/PesZ1DU4y8
— Dr. Jonathan N. Stea (@jonathanstea) June 23, 2022
Pada jurnal yang ia cantumkan berjudul TikTok and Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder: A Cross-Sectional Study of Social Media Content Quality, terdapat sebuah hasil penelitian dimana dari 100 video yang memenuhi kriteria, 52% ditemukan menyesatkan. Kemudian 27% termasuk kategori pengalaman pribadi dan hanya 21% saja yang berguna dan terbukti valid.
Dalam kesimpulan jurnal tersebut, para peneliti menghimbau para dokter dan pakar terutama pada bidang kesehatan mental untuk sadar dan waspada atas penyebaran informasi hoax di media sosial seperti TikTok.
“Kurang lebih setengah dari video TikTok yang dianalisis tentang ADHD ditemukan menyesatkan. Para dokter harus menyadari penyebaran luas dari kesalahan informasi kesehatan di platform media sosial dan dampak potensialnya pada perawatan klinis,” tulis para peneliti dalam jurnal tersebut.